Oleh : Dita Angelina Sinaga
Kenali.co, Era dewasa ini transfomasi teknologi yang semakin pesat mendorong perubahan bangsa ini semakin lebih maju. Akan tetapi muncul dibenak penulis apakah hal tersebut berbanding lurus dengan sosok calon pemimpin di masa mendatang. Dalam waktu dekat ini pula masyarakat Indonesia akan dihadapkan dengan Pesta Demokrasi yakni Pilpres dan Pileg. Berdekatan ini pula sebagai Pemilih yang baik pastinya kita telah menentukan pilihan dengan memperhatikan Luber dan Jurdil. Akan tetapi di Era Milenial ini masyarakat dituntut selektif dalam menggunakan hak suara nya, hal ini disebabkan oleh bonus demografi dalam beberapa tahun ke depan akan dihadapi. Lalu muncul pertanyaan, bagaimanakah sosok seorang pemimpin yang dianggap kapabel di Era dewasa ini?. Tentunya, sosok yang diharapkan oleh masyarakat adalah calon pemimpin yang merakyat, aspiratif dan transparansi. Mendekati pesta demokrasi ini pula para kandidat, giat dalam menarik simpati dari rakyat. Lalu bagaimana yang harus kita lakukan disaat pasangan calon mulai melakukan marketing politiknya.
Penulis berpandangan, yang harus kita lakukan di era sekarang adalah mengenali keseharian kandidat tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan mengkroscek bagaimana kandidat tersebut bermasyarakat dalam lingkungannya. Dapat dikroscek melalui berita online maupun media sosial. Track record yang tertanam dalam benak masyarakat sering kali lebih efektif dibandingkan iklan gambar dan tulisan di pinggir jalan raya yang banyak menghiasi bak memenuhi persimpangan jalan.
Kepemimpinan yang merakyat secara praktis merupakan suatu harapan umum bagi masyarakat. Tidak cukup sampai di situ, Attitude politik seorang pemimpin yang baik, penulis berpandangan yakni selalu mengedepankan keadilan, retorika profesional, serta inner beauty yang bersahaja. Memiliki komitmen politik yang jernih, untuk memimpin orang banyak demi panggilan hati nurani dilengkapi dengan intelektual yang lebih dari sekedar memadai. Sangat ironi apabila kekuasaan tersebut berpihak kepada sebuah kelompok.golongan dan koleganya saja. Katakanlah oligarki. Tidak muncul pamrih untuk terlalu memuliakan diri sendiri. Pemimpin sejati adalah menciptakan regulasi kebijakan atas dasar keadilan, baik itu mengurangi kesenjangan ekonomi, sosial dan politik . Idealnya, pemimpin yang baik selalu memahami hakekat dari kepemimpinan, yakini proses penempaan karakter, pengorbanan diri, pengabdian, dan ketulusan. Meminjam pernyataan dari Askese.
Askese mengatakan; ikatlah keinginan dan hasrat sesaatmu untuk mencapai keberhasilan dan keutamaan yang lebih luhur dan memiliki dampak luas pada masyarakat. Adalah fakta empiris bahwa beberapa partai politik yang menyuarakan jargon Anti-Korupsi tetapi banyak oknum-oknumnya yang diproses hukum kasus korupsi. Wakil rakyat yang pada saat kampanye menggaungkan tentang kesejahteraan rakyat namun tertangkap tangan kasus suap. Sangat miris.
Ironisnya, banyak pemimpin tak bergeming terhadap persoalan dan harapan rakyatnya. Kepentingan diri berpotensi untuk mendahului keinginan dan kepentingan khalayak (konstituen). Banyak yang enggan beranjak dari hingar-bingar ruangan elegant untuk sekadar menengok rakyat kecil yang teralienasi oleh kebijakan.
Hal yang ditakutkan adalah ketika para pemimpin mengartikan kekuasaan secara superfisial, jauh dari esensi kepemimpinan yang berpihak kepada rakyat kecil. Maka tak heran disebagian benak muncul persepsi bahwa “pemimpin tetaplah penguasa dan pemenang, sedangkan rakyat adalah ketiadaan;” meskipun kekuasaan sesungguhnya milik mereka .Makna pemimpin berpotensi memunculkan sikap hedonis dan narsistik (cinta diri) mereka.
George Blech dan Michael Blech dalam bukunya "Advertising and Promotion an Intergrated Marketing Communications Perspective" dan juga Steve Lance dan Jeff Woll dalam bukunya “The Little Blue book of Advertising" menjelaskan perlunya iklan dan tips penting membuat suatu iklan yang menarik. Namun pada akhirnya, konsumen ataupun masyarakat umum akan menilainya berdasarkan kualitas faktual yang tersajikan. Kemajuan teknologi seakan memberikan peluang satu langkah lebih maju dalam mengenali kandidat. Artinya, semakin canggih media, semakin terbuka pula kandidat dalam menjalankan langkah politiknya. Berdasarkan hal tersebut, tentu literasi masyarakat juga harus ditingkatkan. Kontestasi politik menuntut masnyarakat lebih bijak dan responsif.
Attitude politik merupakan hal paling shahih sebagai acuan dalam menjalankan legitimasi. Pemimpin yang mencalonkan diri untuk mencapai hal suatu jabatan tidaklah perkara mudah. Tidak semata hanya memiliki popularitas namun juga harus memiliki modal yakni,kapabilitas dan integritas. Jika hal tersebut ada pada diri kandidat maka keharmonisan pemimpin dan konstituen terjaga dengan baik. Penulis menganalogikan pemimpin bagai seorang Gembala yang baik selalu siaga bila domba-dombanya dalam keadaan bahaya. Dengan demikian, spiritualitas gembala dapat dijadikan sebuah filosofi dalam belajar kepemimpinan. Pesta demokrasi telah dekat, marilah kita ciptakan suasana yang kondusif. Perbedaan perspektif dalam pilihan politik merupakan hal yang biasa, namun hubungan tetaplah harus terjaga. Di era dewasa ini kiranya kita lebih memperhatikan literasi sembari menjemput bonus demografi. Memperbanyak referensi sebagai acuan, berpikir secara terbuka. Dengan hal tersebut masyarakat selektif dalam menggunakan hak suara nya. Menganalisa program, tidak popularitas semata.
Merdeka!
Penulis adalah Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jambi.
Oleh : Dita Angelina Sinaga
Kenali.co, Era dewasa ini transfomasi teknologi yang semakin pesat mendorong perubahan bangsa ini semakin lebih maju. Akan tetapi muncul dibenak penulis apakah hal tersebut berbanding lurus dengan sosok calon pemimpin di masa mendatang. Dalam waktu dekat ini pula masyarakat Indonesia akan dihadapkan dengan Pesta Demokrasi yakni Pilpres dan Pileg. Berdekatan ini pula sebagai Pemilih yang baik pastinya kita telah menentukan pilihan dengan memperhatikan Luber dan Jurdil. Akan tetapi di Era Milenial ini masyarakat dituntut selektif dalam menggunakan hak suara nya, hal ini disebabkan oleh bonus demografi dalam beberapa tahun ke depan akan dihadapi. Lalu muncul pertanyaan, bagaimanakah sosok seorang pemimpin yang dianggap kapabel di Era dewasa ini?. Tentunya, sosok yang diharapkan oleh masyarakat adalah calon pemimpin yang merakyat, aspiratif dan transparansi. Mendekati pesta demokrasi ini pula para kandidat, giat dalam menarik simpati dari rakyat. Lalu bagaimana yang harus kita lakukan disaat pasangan calon mulai melakukan marketing politiknya.
Penulis berpandangan, yang harus kita lakukan di era sekarang adalah mengenali keseharian kandidat tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan mengkroscek bagaimana kandidat tersebut bermasyarakat dalam lingkungannya. Dapat dikroscek melalui berita online maupun media sosial. Track record yang tertanam dalam benak masyarakat sering kali lebih efektif dibandingkan iklan gambar dan tulisan di pinggir jalan raya yang banyak menghiasi bak memenuhi persimpangan jalan.
Kepemimpinan yang merakyat secara praktis merupakan suatu harapan umum bagi masyarakat. Tidak cukup sampai di situ, Attitude politik seorang pemimpin yang baik, penulis berpandangan yakni selalu mengedepankan keadilan, retorika profesional, serta inner beauty yang bersahaja. Memiliki komitmen politik yang jernih, untuk memimpin orang banyak demi panggilan hati nurani dilengkapi dengan intelektual yang lebih dari sekedar memadai. Sangat ironi apabila kekuasaan tersebut berpihak kepada sebuah kelompok.golongan dan koleganya saja. Katakanlah oligarki. Tidak muncul pamrih untuk terlalu memuliakan diri sendiri. Pemimpin sejati adalah menciptakan regulasi kebijakan atas dasar keadilan, baik itu mengurangi kesenjangan ekonomi, sosial dan politik . Idealnya, pemimpin yang baik selalu memahami hakekat dari kepemimpinan, yakini proses penempaan karakter, pengorbanan diri, pengabdian, dan ketulusan. Meminjam pernyataan dari Askese.
Askese mengatakan; ikatlah keinginan dan hasrat sesaatmu untuk mencapai keberhasilan dan keutamaan yang lebih luhur dan memiliki dampak luas pada masyarakat. Adalah fakta empiris bahwa beberapa partai politik yang menyuarakan jargon Anti-Korupsi tetapi banyak oknum-oknumnya yang diproses hukum kasus korupsi. Wakil rakyat yang pada saat kampanye menggaungkan tentang kesejahteraan rakyat namun tertangkap tangan kasus suap. Sangat miris.
Ironisnya, banyak pemimpin tak bergeming terhadap persoalan dan harapan rakyatnya. Kepentingan diri berpotensi untuk mendahului keinginan dan kepentingan khalayak (konstituen). Banyak yang enggan beranjak dari hingar-bingar ruangan elegant untuk sekadar menengok rakyat kecil yang teralienasi oleh kebijakan.
Hal yang ditakutkan adalah ketika para pemimpin mengartikan kekuasaan secara superfisial, jauh dari esensi kepemimpinan yang berpihak kepada rakyat kecil. Maka tak heran disebagian benak muncul persepsi bahwa “pemimpin tetaplah penguasa dan pemenang, sedangkan rakyat adalah ketiadaan;” meskipun kekuasaan sesungguhnya milik mereka .Makna pemimpin berpotensi memunculkan sikap hedonis dan narsistik (cinta diri) mereka.
George Blech dan Michael Blech dalam bukunya "Advertising and Promotion an Intergrated Marketing Communications Perspective" dan juga Steve Lance dan Jeff Woll dalam bukunya “The Little Blue book of Advertising" menjelaskan perlunya iklan dan tips penting membuat suatu iklan yang menarik. Namun pada akhirnya, konsumen ataupun masyarakat umum akan menilainya berdasarkan kualitas faktual yang tersajikan. Kemajuan teknologi seakan memberikan peluang satu langkah lebih maju dalam mengenali kandidat. Artinya, semakin canggih media, semakin terbuka pula kandidat dalam menjalankan langkah politiknya. Berdasarkan hal tersebut, tentu literasi masyarakat juga harus ditingkatkan. Kontestasi politik menuntut masnyarakat lebih bijak dan responsif.
Attitude politik merupakan hal paling shahih sebagai acuan dalam menjalankan legitimasi. Pemimpin yang mencalonkan diri untuk mencapai hal suatu jabatan tidaklah perkara mudah. Tidak semata hanya memiliki popularitas namun juga harus memiliki modal yakni,kapabilitas dan integritas. Jika hal tersebut ada pada diri kandidat maka keharmonisan pemimpin dan konstituen terjaga dengan baik. Penulis menganalogikan pemimpin bagai seorang Gembala yang baik selalu siaga bila domba-dombanya dalam keadaan bahaya. Dengan demikian, spiritualitas gembala dapat dijadikan sebuah filosofi dalam belajar kepemimpinan. Pesta demokrasi telah dekat, marilah kita ciptakan suasana yang kondusif. Perbedaan perspektif dalam pilihan politik merupakan hal yang biasa, namun hubungan tetaplah harus terjaga. Di era dewasa ini kiranya kita lebih memperhatikan literasi sembari menjemput bonus demografi. Memperbanyak referensi sebagai acuan, berpikir secara terbuka. Dengan hal tersebut masyarakat selektif dalam menggunakan hak suara nya. Menganalisa program, tidak popularitas semata.
Merdeka!
Penulis adalah Mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jambi.