Oleh; Maretika Handayani, SP
Kenali.co, Tahun politik kerap menjadi momentum rutin pertemuan para pemimpin ataupun calon pemimpin negeri ini dengan para Ulama. Publik pun disuguhkan bermacam berita kunjungan sehingga adanya upaya depolitisasi Ulama dirasakan oleh berbagai kalangan masyarakat.
Depolitisasi Ulama adalah memarjinalkan peran Ulama dari politik Islam yang hakiki. Ulama yang menolak sekularisme akan mundur dari arena, sedangkan bagi Ulama yang tetap mau bertahan dalam sistem, harus mendukung eksistensi sistem yang ada meskipun sistemnya berlandaskan sekulerisme yang bertentangan dengan Islam. Sekulerisme adalah paham yang memisahan agama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sikap inilah yang dapat membawa kehancuran kehidupan kaum muslimin.
Sistem sekuler membutuhkan legitimasi ulama untuk terjaga eksistensinya. Oleh karenanya, para penjaganya akan terus berusaha menjebak Ulama agar mendukung agenda depolitisasi Islam dengan menjadi corong Islam moderat. Islam moderat yang dikampanyekan sebagai jalan tengah berIslam dengan membentuk opini bahwa Islam adalah agama yang penuh dengan kekerasan, bom bunuh diri, dan peperangan. Kaum Muslimin terus digiring untuk mengambil aturan Islam yang hanya apabila sesuai dengan kondisi yang ada. Islam dipilah-pilah bak prasmanan, dan Islam tidak boleh mengatur masalah bernegara dengan motto Islam Rahmatan lil ‘alamiin. Itulah Islam moderat yang menerima Sekulerisme sebagai landasannya. Padahal Allah telah menegaskan dalam Alqur’an untuk berIslam secara keseluruhan (kaffah).
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah: 208).
Kedudukan Ulama sejatinya menjadi tumpuan umat. Mereka adalah pewaris para Nabi (waratsatul anbiya) yang kedudukan mereka dijelaskan oleh Nabi SAW : “Sesungguhnya perumpamaan ulama di muka bumi laksana bintang-bintang yang ada di langit yang menerangi gelapnya bumi dan laut. Apabla padam cahayanya maka jalan akan kabur.” (HR Ahmad).
Ulama adalah orang yang sangat takut pada Allah SWT baik di dalam hati, ucapan maupun perbuatannya dan berpegang teguh kepada aturan Allah SWT. “Sesungguhnya mereka yang takut kepada Allah di antara hamba hambaNya hanyalah ulama.” (TQS al Fathir [35]:28).
Maka Ulama harus menyadari bahwa ia tidak boleh menjadi pion penguasa. Karena Ulama tidak pernah mendiamkan, menyetujui dan mendukung kedzaliman dan siapapun yang berbuat dzalim. Apalagi hari ini saat Islam belum diterapkan. Dan berbagai problematika hadir dari segala lini maka Ulama tidak boleh mendiamkan apalagi menjadi penentang perjuangan Islam. Karena syari’at Islam bukan pilihan, melainkan kewajiban. Ulama haruslah berjuang di jalan Allah SWT serta senantiasa memberikan nasihat kepada para penguasa takkala mereka menyimpang dari Islam, sebagaimana sabda nabi SAW
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiyat terhadap allah SWT” (HR. Muslim).
Perjuangan politik untuk mengembalikan kemuliaan Islam sebagai konsekuensi Iman kepada Allah dan solusi atas berbagai krisis multidimensi hari ini harus digawangi oleh para pewaris nabi. Semua itu dikarenakan luasnya ilmu dan dalamnya pemahaman Islam yang para Ulama miliki menjadikan posisinya begitu strategis dalam upaya pencerdasan umat.
Jejak sejarah telah menorehkan bahwa negeri ini dimenangkan dengan pekikan takbir para Ulama yang terjun langsung dalam peperangan dan memantik semangat jihad kaum Muslimin untuk ikut berperang mengusir penjajah.
Umat butuh ulama pewaris nabi yang siap menjadi penjaga islam terpercaya, tidak mudah terjebak dalam bujuk rayu dunia. Ia memberikan loyalitasnya hanya kepada Allah, RasulNya dan mengajak umat untuk berjuang menghadirkan kembali institusi riil penerap syari’at Islam yang dengannya kesejahteraan dapat diraih, kemuliaan di dunia dan di akhirat sebagai umat terbaik (Khairu Ummah) dapat diwujudkan.
Allahu a’lam bisshawab.
*) Penulis adalah Aktivis Muslimah Jambi & Anggota Komunitas Menulis Jambi
Oleh; Maretika Handayani, SP
Kenali.co, Tahun politik kerap menjadi momentum rutin pertemuan para pemimpin ataupun calon pemimpin negeri ini dengan para Ulama. Publik pun disuguhkan bermacam berita kunjungan sehingga adanya upaya depolitisasi Ulama dirasakan oleh berbagai kalangan masyarakat.
Depolitisasi Ulama adalah memarjinalkan peran Ulama dari politik Islam yang hakiki. Ulama yang menolak sekularisme akan mundur dari arena, sedangkan bagi Ulama yang tetap mau bertahan dalam sistem, harus mendukung eksistensi sistem yang ada meskipun sistemnya berlandaskan sekulerisme yang bertentangan dengan Islam. Sekulerisme adalah paham yang memisahan agama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sikap inilah yang dapat membawa kehancuran kehidupan kaum muslimin.
Sistem sekuler membutuhkan legitimasi ulama untuk terjaga eksistensinya. Oleh karenanya, para penjaganya akan terus berusaha menjebak Ulama agar mendukung agenda depolitisasi Islam dengan menjadi corong Islam moderat. Islam moderat yang dikampanyekan sebagai jalan tengah berIslam dengan membentuk opini bahwa Islam adalah agama yang penuh dengan kekerasan, bom bunuh diri, dan peperangan. Kaum Muslimin terus digiring untuk mengambil aturan Islam yang hanya apabila sesuai dengan kondisi yang ada. Islam dipilah-pilah bak prasmanan, dan Islam tidak boleh mengatur masalah bernegara dengan motto Islam Rahmatan lil ‘alamiin. Itulah Islam moderat yang menerima Sekulerisme sebagai landasannya. Padahal Allah telah menegaskan dalam Alqur’an untuk berIslam secara keseluruhan (kaffah).
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah: 208).
Kedudukan Ulama sejatinya menjadi tumpuan umat. Mereka adalah pewaris para Nabi (waratsatul anbiya) yang kedudukan mereka dijelaskan oleh Nabi SAW : “Sesungguhnya perumpamaan ulama di muka bumi laksana bintang-bintang yang ada di langit yang menerangi gelapnya bumi dan laut. Apabla padam cahayanya maka jalan akan kabur.” (HR Ahmad).
Ulama adalah orang yang sangat takut pada Allah SWT baik di dalam hati, ucapan maupun perbuatannya dan berpegang teguh kepada aturan Allah SWT. “Sesungguhnya mereka yang takut kepada Allah di antara hamba hambaNya hanyalah ulama.” (TQS al Fathir [35]:28).
Maka Ulama harus menyadari bahwa ia tidak boleh menjadi pion penguasa. Karena Ulama tidak pernah mendiamkan, menyetujui dan mendukung kedzaliman dan siapapun yang berbuat dzalim. Apalagi hari ini saat Islam belum diterapkan. Dan berbagai problematika hadir dari segala lini maka Ulama tidak boleh mendiamkan apalagi menjadi penentang perjuangan Islam. Karena syari’at Islam bukan pilihan, melainkan kewajiban. Ulama haruslah berjuang di jalan Allah SWT serta senantiasa memberikan nasihat kepada para penguasa takkala mereka menyimpang dari Islam, sebagaimana sabda nabi SAW
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiyat terhadap allah SWT” (HR. Muslim).
Perjuangan politik untuk mengembalikan kemuliaan Islam sebagai konsekuensi Iman kepada Allah dan solusi atas berbagai krisis multidimensi hari ini harus digawangi oleh para pewaris nabi. Semua itu dikarenakan luasnya ilmu dan dalamnya pemahaman Islam yang para Ulama miliki menjadikan posisinya begitu strategis dalam upaya pencerdasan umat.
Jejak sejarah telah menorehkan bahwa negeri ini dimenangkan dengan pekikan takbir para Ulama yang terjun langsung dalam peperangan dan memantik semangat jihad kaum Muslimin untuk ikut berperang mengusir penjajah.
Umat butuh ulama pewaris nabi yang siap menjadi penjaga islam terpercaya, tidak mudah terjebak dalam bujuk rayu dunia. Ia memberikan loyalitasnya hanya kepada Allah, RasulNya dan mengajak umat untuk berjuang menghadirkan kembali institusi riil penerap syari’at Islam yang dengannya kesejahteraan dapat diraih, kemuliaan di dunia dan di akhirat sebagai umat terbaik (Khairu Ummah) dapat diwujudkan.
Allahu a’lam bisshawab.
*) Penulis adalah Aktivis Muslimah Jambi & Anggota Komunitas Menulis Jambi