Oleh: Endang Dwi Hardani, S.Pd
Kenali.co, Hakikat literasi pada dasarnya tidak terbatas pada kegiatan membaca dan menulis saja. Literasi adalah kebutuhan manusia untuk mencapai posisi sebagai insan mulia yang berbudaya dan bermartabat. Sejak zaman dahulu sampai sekarang, kita sudah menyadari bahwa semua aktivitas manusia berhubungan dengan bacaan, tulisan, simbol, mendengar, melihat dan berbicara. Oleh karena itu, literasi menjadi kompetensi dasar yang harus dimiliki tiap individu.
Berdasarkan fakta dan data hasil riset dari kelompok-kelompok pegiat literasi menunjukkan bahwa tingkat literasi Bangsa Indonesia masih rendah. Hal ini tentu bukan tanpa sebab, karena sejarahnya bangsa Indonesia telah begitu lama terkungkung dalam sastra lisan bukan keberaksaraan (literasi). Apalagi di zaman moderen saat ini, arus informasi dan teknologi digital sangat piawai menjadikan anak-anak kita sebagai penonton. Faktanya, anak-anak kita lebih kuat menonton televisi berjam-jam dari pada disuruh membaca buku. Aktivitas membaca hanya membuat mereka mengantuk. Jangankan memahami pemikiran/gagasan sipenulis buku, terkadang mereka tidak mengerti apa yang telah mereka baca setelah mereka menyelesaikan bacaannya.
Namun kita tidak boleh pesimis, karena pemerintah telah meretas jalan dengan membuat sebuah kebijakan nasional yaitu Gerakan Literasi Nasional Bangsa. Kebijakan ini adalah embrio untuk lahirnya gerakan-gerakan literasi secara masif oleh para pegiat literasi dipelosok-pelosok, baik dari kalangan pemerintahan, swasta, maupun dilakukan secara mandiri oleh kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan.
Pada tataran teknis, para pejuang literasi paham betul bahwa mereka pasti akan mendapatkan tantangan dan hambatan dalam melaksanakan misi mereka, karena masyarakat itu sendiri sebagai objek memiliki keragaman budaya. Keragaman ini telah diwarisi secara turun temurun, sehingga jika ingin merubah sebuah kebiasaan maka para pejuang literasi harus membuka akses yang luas serta memberikan ruang dan waktu untuk masyarakat berproses.
Pemikiran inilah yang kemudian melatar belakangi saya secara pribadi untuk memulai gerakan literasi sederhana ini yang di mulai dari rumah. Baiti Jannati, Rumahku adalah surgaku, begitu ungkapan syukur yang biasa kita dengar. Ungkapan itu menggambarkan bagaimana rumah bisa menjadi taman-taman surga bagi penghuninya. Bahkan rumah bisa menjadi jauh lebih bermanfaat bila penghuninya ikut memakmurkan rumah untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi kemaslahatan ummat. Dan salah satu kegiatan yang saya pilih adalah kegiatan literasi.
Langkah awal yang saya lakukan adalah mendirikan Rumah Baca secara mandiri, dengan memanfaatkan ruang dan koleksi buku-buku yang ada dirumah. Rumah Baca Sahabat Ilmuqu, begitulah wadah literasi sederhana ini saya beri nama, dengan harapan dapat menjadi sahabat terbaik bagi anak-anak, bagi remaja dan para orang tua dilingkungan tempat tinggal saya.
Uniknya, Rumah Baca ini didesain senyaman mungkin, tidak terikat aturan-aturan seperti diperpustakaan pada umumnya. Ruang baca berukuran 3x4 meter, pada dindingnya dibuat rak-rak buku kreatif yang memanfaatkan barang-barang bekas dan ditata dengan apik. Buku-buku disusun berselang-seling dengan boneka, kerajinan tangan, miniatur dan pajangan-pajangan lainnya sehingga memberikan kesan nyaman seperti suasana dirumah. Beberapa permainan edukatif dan bahan-bahan kerajinan tangan juga ditempatkan disudut ruangan untuk kegiatan edukasi psikomotorik dan edukasi kriya. Penataan ruangan menjadi poin penting untuk memberikan kesan nyaman, sehingga siapaun yang berada diruangan tersebut tidak akan merasa berada di perpustakaan, tapi seperti dirumah sendiri. Dibagian luar, ruang baca terbuka juga dibuat layaknya taman bermain, sehingga anak-anak bisa bebas mengaktualisasikan dirinya dengan lebih baik.
Rumah Baca ini hadir ditengah-tengah pemukiman padat penduduk yang notabene berasal dari kalangan ekonomi menengah kebawah. Masyarakatnya terdiri dari beragam profesi, mulai dari buruh bangunan, pedagang, pegawai, karyawan swasta dan petani. Dalam hal ini saya sadar betul bahwa program-program kegiatan yang akan dibuat haruslah disesuaikan dengan keberagaman budaya masyarakat setempat.
Target tahun pertama adalah kelompok anak-anak. Anak-anak adalah manusia-manusia terbuka, yang dengan senang hati menerima perubahan asalkan menyenangkan dan mudah. Maka, dapat dipastikan program-program edukasi literasi yang kreatif akan membuat mereka bersuka cita. Target kedua adalah remaja. Kelompok remaja adalah manusia-manusia labil yang perlu arahan dalam memilih keputusan, maka program-program yang ditawarkan haruslah bersifat inovatif yang disesuaikan dengan minat dan bakat. Target terakhir adalah kelompok orang tua, dapat dipastikan jika anak-anak dan remaja sudah terbuka terhadap sebuah pembiasaan baru, maka mau tidak mau kelompok orangtua akan membuka diri dan memberikan dukungannya. Bagi kelompok ini yang penting adalah program ini berkelanjutan dan dapat memberikan bukti manfaat.
Alhamdulillah, sejak taggal 1 April 2016 hingga saat ini, Rumah Baca Sahabat Ilmuqu telah memberikan dampak positif yang cukup signifikan bagi masyarakat sekitarnya. Melalui progam edukasi literasi, edukasi psikomotorik, edukasi teknologi dan edukasi kriya, Rumah Baca perlahan mengikis budaya malas membaca. Buktinya, hampir setiap hari kegiatan-kegiatan yang dilakukan di Rumah Baca selalu menyedot antusiasme warga untuk berkunjung. Aktivitas membaca dan peminjaman buku meningkat seiring dengan makin banyaknya donasi buku yang menambah koleksi di Rumah Baca. Prestasi anak-anak disekolah meningkat, bahkan beberapa anak mengaku sudah memiliki pojok baca juga dirumahnya. Bahkan anak-anak remaja sudah mulai menginspirasi teman-temannya ditempat yang lain untuk membuat Rumah Baca. Para orang tua tak kalah antusiasnya, walaupun belum signifikan jumlah pengunjungnya.
Dalam konteks literasi masyarakat, Rumah Baca Sahabat Ilmuqu telah memberikan ruang dan kesempatan bagi warga disekitar tempat tinggal untuk mendapatkan akses yang mudah, murah, gratis, menyenangkan dan berkelanjutan untuk menambah wawasan dan ilmu. Perlu di ingat, bahwa dalam gerakan literasi kita tidak boleh memaksakan masyarakat membaca jika itu belum menjadi budaya. Kita harus masuk dalam budaya yang ada, perlahan tapi pasti membiasakan membaca akan mudah bagi masyarakat jika kita sudah mengenal budayanya, tokohnya, dan wataknya.
Kendatipun ada yang memiliki bakat dan minat literasi yang baik, tapi ‘bakat’ bukanlah sesuatu yang istimewa, keinginan untuk mau belajar, mau berubah adalah sesuatu yang perlu diberikan apresiasi. Sekecil apapun hasil kegiatan membaca dan menulis yang dilakukan oleh masyarakat patut diberikan penghargaan. Pemberian apresiasi tulus dari banyak pihak akan meningkatkan kepercayaan diri masyarakat, sehingga masyarakat termotivasi untuk terus meningkatkan kompetensi literasinya. Rumah Baca Sahabat Ilmuqu memberikan pengalaman, pembiasan literasi kepada masyarakat dengan harapan pengalaman itu kedepannya akan menginspirasi setiap keluarga dalam masyarakat tersebut untuk membuat pojok baca sendiri dirumah-rumah mereka. Bahkan nanti, ketika anak-anak mereka tumbuh besar, mereka akan mewarisi pengalamannya secara turun temurun, maka inilah yang disebut proses pembiasaan yang berhasil membentuk budaya literasi yang kuat.
Kedepannya, untuk mengembangkan program-program, Rumah Baca perlu meningkatkan kerjasama dengan pemerintah, swasta dan pihak-pihak terkait guna memajukan kegiatan literasi masyarakat. Para pegiat literasi mandiri membutuhkan dukungan agar kegiatan ini dapat memberikan manfaat lebih luas lagi, tidak hanya budaya literasi, melainkan dapat juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat disekitarnya.
Dengan begitu, maka bukan sesuatu yang mustahil bahwa generasi-generasi berprestasi akan lahir dari rumah-rumah sederhana, yang kita perlukan saat ini hanyalah kesungguhan niat dan aksi serta keistiqomahan menebar benih kebaikan literasi. Hambatan terbesar adalah kemauan dari dalam diri kita sendiri untuk berubah, karena Allah SWT pun telah mengisyaratkan pencapaian derajat insan mulia yang berbudaya dan bermartabat haruslah diperoleh dengan aktivitas literasi (iqro’ dan kalam). Sebagian besar orang tidak dapat melakukan sesuatu ketika mereka mau, karena mereka tidak melakukan apa-apa ketika mereka bisa.
Oleh karena itu kita harus ikhlas untuk menikmati proses perubahan ini bersama-sama dan menjadi bagian dari gerakan nasional literasi bangsa.
*) Penulis adalah pegiat literasi masyarakat dan guru di SMAN 8 Muarojambi. (HP: 0813-77777-323, Facebook: endang dwi hardani/sahabatquilmu)
Oleh: Endang Dwi Hardani, S.Pd
Kenali.co, Hakikat literasi pada dasarnya tidak terbatas pada kegiatan membaca dan menulis saja. Literasi adalah kebutuhan manusia untuk mencapai posisi sebagai insan mulia yang berbudaya dan bermartabat. Sejak zaman dahulu sampai sekarang, kita sudah menyadari bahwa semua aktivitas manusia berhubungan dengan bacaan, tulisan, simbol, mendengar, melihat dan berbicara. Oleh karena itu, literasi menjadi kompetensi dasar yang harus dimiliki tiap individu.
Berdasarkan fakta dan data hasil riset dari kelompok-kelompok pegiat literasi menunjukkan bahwa tingkat literasi Bangsa Indonesia masih rendah. Hal ini tentu bukan tanpa sebab, karena sejarahnya bangsa Indonesia telah begitu lama terkungkung dalam sastra lisan bukan keberaksaraan (literasi). Apalagi di zaman moderen saat ini, arus informasi dan teknologi digital sangat piawai menjadikan anak-anak kita sebagai penonton. Faktanya, anak-anak kita lebih kuat menonton televisi berjam-jam dari pada disuruh membaca buku. Aktivitas membaca hanya membuat mereka mengantuk. Jangankan memahami pemikiran/gagasan sipenulis buku, terkadang mereka tidak mengerti apa yang telah mereka baca setelah mereka menyelesaikan bacaannya.
Namun kita tidak boleh pesimis, karena pemerintah telah meretas jalan dengan membuat sebuah kebijakan nasional yaitu Gerakan Literasi Nasional Bangsa. Kebijakan ini adalah embrio untuk lahirnya gerakan-gerakan literasi secara masif oleh para pegiat literasi dipelosok-pelosok, baik dari kalangan pemerintahan, swasta, maupun dilakukan secara mandiri oleh kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan.
Pada tataran teknis, para pejuang literasi paham betul bahwa mereka pasti akan mendapatkan tantangan dan hambatan dalam melaksanakan misi mereka, karena masyarakat itu sendiri sebagai objek memiliki keragaman budaya. Keragaman ini telah diwarisi secara turun temurun, sehingga jika ingin merubah sebuah kebiasaan maka para pejuang literasi harus membuka akses yang luas serta memberikan ruang dan waktu untuk masyarakat berproses.
Pemikiran inilah yang kemudian melatar belakangi saya secara pribadi untuk memulai gerakan literasi sederhana ini yang di mulai dari rumah. Baiti Jannati, Rumahku adalah surgaku, begitu ungkapan syukur yang biasa kita dengar. Ungkapan itu menggambarkan bagaimana rumah bisa menjadi taman-taman surga bagi penghuninya. Bahkan rumah bisa menjadi jauh lebih bermanfaat bila penghuninya ikut memakmurkan rumah untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi kemaslahatan ummat. Dan salah satu kegiatan yang saya pilih adalah kegiatan literasi.
Langkah awal yang saya lakukan adalah mendirikan Rumah Baca secara mandiri, dengan memanfaatkan ruang dan koleksi buku-buku yang ada dirumah. Rumah Baca Sahabat Ilmuqu, begitulah wadah literasi sederhana ini saya beri nama, dengan harapan dapat menjadi sahabat terbaik bagi anak-anak, bagi remaja dan para orang tua dilingkungan tempat tinggal saya.
Uniknya, Rumah Baca ini didesain senyaman mungkin, tidak terikat aturan-aturan seperti diperpustakaan pada umumnya. Ruang baca berukuran 3x4 meter, pada dindingnya dibuat rak-rak buku kreatif yang memanfaatkan barang-barang bekas dan ditata dengan apik. Buku-buku disusun berselang-seling dengan boneka, kerajinan tangan, miniatur dan pajangan-pajangan lainnya sehingga memberikan kesan nyaman seperti suasana dirumah. Beberapa permainan edukatif dan bahan-bahan kerajinan tangan juga ditempatkan disudut ruangan untuk kegiatan edukasi psikomotorik dan edukasi kriya. Penataan ruangan menjadi poin penting untuk memberikan kesan nyaman, sehingga siapaun yang berada diruangan tersebut tidak akan merasa berada di perpustakaan, tapi seperti dirumah sendiri. Dibagian luar, ruang baca terbuka juga dibuat layaknya taman bermain, sehingga anak-anak bisa bebas mengaktualisasikan dirinya dengan lebih baik.
Rumah Baca ini hadir ditengah-tengah pemukiman padat penduduk yang notabene berasal dari kalangan ekonomi menengah kebawah. Masyarakatnya terdiri dari beragam profesi, mulai dari buruh bangunan, pedagang, pegawai, karyawan swasta dan petani. Dalam hal ini saya sadar betul bahwa program-program kegiatan yang akan dibuat haruslah disesuaikan dengan keberagaman budaya masyarakat setempat.
Target tahun pertama adalah kelompok anak-anak. Anak-anak adalah manusia-manusia terbuka, yang dengan senang hati menerima perubahan asalkan menyenangkan dan mudah. Maka, dapat dipastikan program-program edukasi literasi yang kreatif akan membuat mereka bersuka cita. Target kedua adalah remaja. Kelompok remaja adalah manusia-manusia labil yang perlu arahan dalam memilih keputusan, maka program-program yang ditawarkan haruslah bersifat inovatif yang disesuaikan dengan minat dan bakat. Target terakhir adalah kelompok orang tua, dapat dipastikan jika anak-anak dan remaja sudah terbuka terhadap sebuah pembiasaan baru, maka mau tidak mau kelompok orangtua akan membuka diri dan memberikan dukungannya. Bagi kelompok ini yang penting adalah program ini berkelanjutan dan dapat memberikan bukti manfaat.
Alhamdulillah, sejak taggal 1 April 2016 hingga saat ini, Rumah Baca Sahabat Ilmuqu telah memberikan dampak positif yang cukup signifikan bagi masyarakat sekitarnya. Melalui progam edukasi literasi, edukasi psikomotorik, edukasi teknologi dan edukasi kriya, Rumah Baca perlahan mengikis budaya malas membaca. Buktinya, hampir setiap hari kegiatan-kegiatan yang dilakukan di Rumah Baca selalu menyedot antusiasme warga untuk berkunjung. Aktivitas membaca dan peminjaman buku meningkat seiring dengan makin banyaknya donasi buku yang menambah koleksi di Rumah Baca. Prestasi anak-anak disekolah meningkat, bahkan beberapa anak mengaku sudah memiliki pojok baca juga dirumahnya. Bahkan anak-anak remaja sudah mulai menginspirasi teman-temannya ditempat yang lain untuk membuat Rumah Baca. Para orang tua tak kalah antusiasnya, walaupun belum signifikan jumlah pengunjungnya.
Dalam konteks literasi masyarakat, Rumah Baca Sahabat Ilmuqu telah memberikan ruang dan kesempatan bagi warga disekitar tempat tinggal untuk mendapatkan akses yang mudah, murah, gratis, menyenangkan dan berkelanjutan untuk menambah wawasan dan ilmu. Perlu di ingat, bahwa dalam gerakan literasi kita tidak boleh memaksakan masyarakat membaca jika itu belum menjadi budaya. Kita harus masuk dalam budaya yang ada, perlahan tapi pasti membiasakan membaca akan mudah bagi masyarakat jika kita sudah mengenal budayanya, tokohnya, dan wataknya.
Kendatipun ada yang memiliki bakat dan minat literasi yang baik, tapi ‘bakat’ bukanlah sesuatu yang istimewa, keinginan untuk mau belajar, mau berubah adalah sesuatu yang perlu diberikan apresiasi. Sekecil apapun hasil kegiatan membaca dan menulis yang dilakukan oleh masyarakat patut diberikan penghargaan. Pemberian apresiasi tulus dari banyak pihak akan meningkatkan kepercayaan diri masyarakat, sehingga masyarakat termotivasi untuk terus meningkatkan kompetensi literasinya. Rumah Baca Sahabat Ilmuqu memberikan pengalaman, pembiasan literasi kepada masyarakat dengan harapan pengalaman itu kedepannya akan menginspirasi setiap keluarga dalam masyarakat tersebut untuk membuat pojok baca sendiri dirumah-rumah mereka. Bahkan nanti, ketika anak-anak mereka tumbuh besar, mereka akan mewarisi pengalamannya secara turun temurun, maka inilah yang disebut proses pembiasaan yang berhasil membentuk budaya literasi yang kuat.
Kedepannya, untuk mengembangkan program-program, Rumah Baca perlu meningkatkan kerjasama dengan pemerintah, swasta dan pihak-pihak terkait guna memajukan kegiatan literasi masyarakat. Para pegiat literasi mandiri membutuhkan dukungan agar kegiatan ini dapat memberikan manfaat lebih luas lagi, tidak hanya budaya literasi, melainkan dapat juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat disekitarnya.
Dengan begitu, maka bukan sesuatu yang mustahil bahwa generasi-generasi berprestasi akan lahir dari rumah-rumah sederhana, yang kita perlukan saat ini hanyalah kesungguhan niat dan aksi serta keistiqomahan menebar benih kebaikan literasi. Hambatan terbesar adalah kemauan dari dalam diri kita sendiri untuk berubah, karena Allah SWT pun telah mengisyaratkan pencapaian derajat insan mulia yang berbudaya dan bermartabat haruslah diperoleh dengan aktivitas literasi (iqro’ dan kalam). Sebagian besar orang tidak dapat melakukan sesuatu ketika mereka mau, karena mereka tidak melakukan apa-apa ketika mereka bisa.
Oleh karena itu kita harus ikhlas untuk menikmati proses perubahan ini bersama-sama dan menjadi bagian dari gerakan nasional literasi bangsa.
*) Penulis adalah pegiat literasi masyarakat dan guru di SMAN 8 Muarojambi. (HP: 0813-77777-323, Facebook: endang dwi hardani/sahabatquilmu)