Kenallicom, Tahun 2015 seolah diperingati sebagai masa suram perekonomian Indonesia yang salah satu indikasinya adalah mata uang rupiah hampir menyerempet Rp15.000 per dolar AS.
Bayangan akan terulangnya krisis ekonomi tahun 1997 membuncah, tetapi akhirnya apa yang ditakutkan tidak terjadi.
Sebabnya, pemerintah mengambil gerak cepat.
Dalam sebuah perbincangan di Istana Kepresidenan, Presiden Joko Widodo mengatakan tindakan pertama pemerintah meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah mendorong penyerapan anggaran untuk belanja modal, diikuti dengan mempermudah masuknya investor.
Memang, pada akhirnya, seperti yang diungkapkan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, penyerapan anggaran belanja oleh kementerian dan lembaga pada tahun 2015 mencapai Rp724,7 triliun atau 91,1 persen dari pagu APBNP 2015 sebesar Rp795,5 triliun.
"Secara persentase ini lebih rendah dibandingkan dengan realisasi pada tahun 2014, tetapi secara nominal lebih tinggi," kata Menkeu.
Soal anggaran ini memang tidak main-main.
Menurut Bursa Efek Indonesia (BEI), di tahun 2016, penyerapan anggaran belanja infrastruktur pemerintah akan menjadi salah satu sentimen yang menjadi perhatian investor di pasar modal domestik.
Oleh karena itu, pemerintah masih menjadikan percepatan penyerapan anggaran sebagai fokus untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan menyentuh 5,3 persen-5,4 persen pada tahun 2016.
"Penyerapan itu juga bagian dari proses untuk melakukan pelayanan publik," tutur Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo.
BPKP pun optimistis penyerapan anggaran untuk tahun 2016 bisa dipercepat. Keyakinan timbul karena sudah ada beberapa kementerian dan lembaga yang sudah menandatangani kontrak untuk hasil lelang di awal Januari 2016, yaitu Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat, TNI AL dan Kementerian Perhubungan.
Di awal tahun, tanda-tanda akan terbitnya "fajar" pertumbuhan setelah perlambatan ekonomi semakin menyeruak setelah Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 13-14 Januari 2016 memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 basis poin menjadi 7,25 persen dari 7,5 persen, dengan "lending facility" 7,75 persen dan "deposit facility" 5,25 persen.
Kepala Ekonom Bank Negara Indonesia (BNI) Ryan Kiryanto menyebut kebijakan BI akan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia akan semakin baik.
Ryan juga percaya bahwa kebijakan yang disambut postif oleh pasar itu pun akan dilakukan dua sampai tiga kali lagi pada 2016, dengan penurunan diperkirakan sebesar 25 poin.
"Kebijakan Bank Indonesia lebih akomodatif dari dua tahun lalu. Saya yakin ruang penyesuaian BI rate terbuka walau tetap menjaga kehati-hatian di tengah tingginya ketidakpastian global dalam jangka pendek," kata Ryan.
Lantas, apakah cercah-cercah harapan ini juga melingkupi industri keuangan nonbank? Jawabannya adalah ya.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengutarakan keyakinan akan membaiknya perekonomian dengan menyatakan proyeksi pertumbuhan total perusahaan-perusahaan pembiayaan nonbank diprediksi satu digit pada 2016, sekitar lima persen sampai sedikit di bawah 10 persen.
"Kami percaya daya beli akan meninggi di tahun-tahun berikutnya. Namun memang perusahaan-perusahaan pembiayaan sepertinya belum bisa menikmati pertumbuhan dua digit seperti pada tahun 2008-2012 dalam waktu dekat," ujar Suwandi.
Perekonomian yang semakin positif juga diprediksi membuat tingkat kredit bermasalah (Non Performing Financing/NPF), yang dalam istilah perbankan disebut Non Performing Loan (NPL), tidak akan mengalami peningkatan.
Suwandi menyebut perusahaan pembiayaan nonbank berhasil mempertahankan NPF di kisaran 1,4 persen-1,6 persen walau di tengah buruknya keadaan perekonomian pada 2015.
"Jadi pada 2016 kami perkirakan kisarannya sama dengan 2015," ujar Suwandi.
Dia melanjutkan, salah satu sektor penyumbang NPF tersebut adalah sektor pertambangan yang banyak bergantung pada perusahaan pembiayaan dalam hal pengadaan alat berat.
Jika NPF semakin tinggi, hal yang ditakutkan terjadi adalah perumahan karyawan atau PHK.
Karena itu, Suwandi menegaskan perusahaan-perusahaan pembiayaan akan terus berusaha mempertahankan nilai NPF adalah dengan terus berusaha mencari nasabah yang berkualitas.
Sementara, PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia juga optimistis keadaan ekonomi membaik pada tahun 2016 dan meyakini pertumbuhan ekonomi diprediksi bisa mencapai 5,2 persen, lebih baik dibandingkan tahun 2015 yang tercatat berada di 4,79 persen setelah perekonomian nasional pada triwulan IV-2015 tumbuh 5,04 persen (yoy).
Ini merupakan kabar baik sebab menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), aset industri asuransi per 31 Desember 2015 hanya tumbuh 10 persen, sementara pada tahun 2014 pertumbuhan mencapai 17,5 persen.
Salah satu cara yang diambil Manulife adalah memperbanyak jumlah agen asuransi demi menggenjot pertumbuhan dan adanya rencana melakukan ekspansi.
"Kami pasti akan menambah jumlah agen, mungkin sejumlah 10 persen sampai 15 persen dari jumlah yang ada saat ini, semua tergantung pada strategi kami nanti," ujar Chief Agency Officer PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia Rusli Chan.
Rusli menambahkan saat ini pihaknya memiliki sekitar 9.000 agen asuransi yang tersebar di 25 kantor pemasaran di Indonesia.
Tidak bisa dipungkiri, masih banyak warga negara Indonesia yang belum memanfaatkan perlindungan asuransi. Bahkan hal ini juga terjadi pada investor di Tanah Air.
Berdasarkan survei Manulife Investment Sentiment Index (MISI) pada 16 Oktober-8 November 2015 terhadap 511 investor yang memiliki pengeluaran rata-rata perbulan di atas Rp4 juta serta memiliki aset yang diinvestasikan senilai di atas Rp20 juta di tiga kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Surabaya dan Medan, asuransi hanya menjadi pilihan ketiga yang dipilih investor untuk melindungi keuangan.
Investor lebih memilih menyimpan dana besar di tabungan atau deposito (72 persen), investasi emas (67 persen), lalu asuransi (44 persen), selanjutnya yang melakukan investasi di bidang properti (40 persen), berutang pada saudara atau teman (sembilan persen), meminjam uang dari bank atau penyedia kredit (enam persen) dan terakhir investasi di reksa dana (dua persen).
Rupiah Semakin Stabil Hasil survei Manulife Investment Sentiment Index (MISI) itu juga menyatakan sebanyak 43 persen investor di Indonesia yakin mata uang rupiah akan stabil setidaknya sampai triwulan pertama tahun 2016.
"Mayoritas dari investor memang menganggap dalam rupiah akan mencapai titik ekuilibrium atau keseimbangan baru," kata Presiden Direktur PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Legowo Kusumonegoro.
Hasil lainnya menunjukkan 21 persen investor menyatakan pesimistis nilai rupiah akan lebih baik dan 36 persen lainnya justru optimistis lebih positif dari sebelumnya.
Penilaian investor ini merupakan salah satu dampak dari keyakinan akan membaiknya keadaan perekonomian setelah tahun 2015 yang dianggap cukup negatif bagi investor.
Berdasarkan hasil survei MISI di kuartal keempat itu, skor indeks sentimen investor turun menjadi 44, dari 54 poin di waktu yang sama tahun 2014.
"Ini terjadi karena ada penguatan dolar AS, ada kekhawatiran The Fed menaikkan suku bunga, belum lagi melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia dan ada devaluasi Yuan di Tiongkok yang menekan mata uang negara-negara Asia termasuk rupiah," ujar Legowo.
Selain itu, data Manulife menunjukkan bahwa pada tahun 2015 IHSG menurun 12,1 persen walau pasar obligasi menguat 3,1 persen, tetapi bersifat "volatile".
Defisit neraca berjalan juga mengecil dari 6,2 miliar dolar AS (2,81persen dari PDB) pada tahun 2014 menjadi 4 miliar dolar AS pada kuartal ketiga 2015 (1,86 persen PDB).
Masa kelam tahun 2015 memang ibarat kenangan buruk bagi industri keuangan baik perbankan maupun nonbank hingga para investor.
Proyeksi akan membaiknya pertumbuhan ekonomi 2016 sejatinya akan dirasakan seiring waktu berjalan.
Penulis : Michael Teguh Adiputra Siahaan
Kenallicom, Tahun 2015 seolah diperingati sebagai masa suram perekonomian Indonesia yang salah satu indikasinya adalah mata uang rupiah hampir menyerempet Rp15.000 per dolar AS.
Bayangan akan terulangnya krisis ekonomi tahun 1997 membuncah, tetapi akhirnya apa yang ditakutkan tidak terjadi.
Sebabnya, pemerintah mengambil gerak cepat.
Dalam sebuah perbincangan di Istana Kepresidenan, Presiden Joko Widodo mengatakan tindakan pertama pemerintah meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah mendorong penyerapan anggaran untuk belanja modal, diikuti dengan mempermudah masuknya investor.
Memang, pada akhirnya, seperti yang diungkapkan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, penyerapan anggaran belanja oleh kementerian dan lembaga pada tahun 2015 mencapai Rp724,7 triliun atau 91,1 persen dari pagu APBNP 2015 sebesar Rp795,5 triliun.
"Secara persentase ini lebih rendah dibandingkan dengan realisasi pada tahun 2014, tetapi secara nominal lebih tinggi," kata Menkeu.
Soal anggaran ini memang tidak main-main.
Menurut Bursa Efek Indonesia (BEI), di tahun 2016, penyerapan anggaran belanja infrastruktur pemerintah akan menjadi salah satu sentimen yang menjadi perhatian investor di pasar modal domestik.
Oleh karena itu, pemerintah masih menjadikan percepatan penyerapan anggaran sebagai fokus untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan menyentuh 5,3 persen-5,4 persen pada tahun 2016.
"Penyerapan itu juga bagian dari proses untuk melakukan pelayanan publik," tutur Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo.
BPKP pun optimistis penyerapan anggaran untuk tahun 2016 bisa dipercepat. Keyakinan timbul karena sudah ada beberapa kementerian dan lembaga yang sudah menandatangani kontrak untuk hasil lelang di awal Januari 2016, yaitu Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat, TNI AL dan Kementerian Perhubungan.
Di awal tahun, tanda-tanda akan terbitnya "fajar" pertumbuhan setelah perlambatan ekonomi semakin menyeruak setelah Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 13-14 Januari 2016 memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) sebesar 25 basis poin menjadi 7,25 persen dari 7,5 persen, dengan "lending facility" 7,75 persen dan "deposit facility" 5,25 persen.
Kepala Ekonom Bank Negara Indonesia (BNI) Ryan Kiryanto menyebut kebijakan BI akan membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia akan semakin baik.
Ryan juga percaya bahwa kebijakan yang disambut postif oleh pasar itu pun akan dilakukan dua sampai tiga kali lagi pada 2016, dengan penurunan diperkirakan sebesar 25 poin.
"Kebijakan Bank Indonesia lebih akomodatif dari dua tahun lalu. Saya yakin ruang penyesuaian BI rate terbuka walau tetap menjaga kehati-hatian di tengah tingginya ketidakpastian global dalam jangka pendek," kata Ryan.
Lantas, apakah cercah-cercah harapan ini juga melingkupi industri keuangan nonbank? Jawabannya adalah ya.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengutarakan keyakinan akan membaiknya perekonomian dengan menyatakan proyeksi pertumbuhan total perusahaan-perusahaan pembiayaan nonbank diprediksi satu digit pada 2016, sekitar lima persen sampai sedikit di bawah 10 persen.
"Kami percaya daya beli akan meninggi di tahun-tahun berikutnya. Namun memang perusahaan-perusahaan pembiayaan sepertinya belum bisa menikmati pertumbuhan dua digit seperti pada tahun 2008-2012 dalam waktu dekat," ujar Suwandi.
Perekonomian yang semakin positif juga diprediksi membuat tingkat kredit bermasalah (Non Performing Financing/NPF), yang dalam istilah perbankan disebut Non Performing Loan (NPL), tidak akan mengalami peningkatan.
Suwandi menyebut perusahaan pembiayaan nonbank berhasil mempertahankan NPF di kisaran 1,4 persen-1,6 persen walau di tengah buruknya keadaan perekonomian pada 2015.
"Jadi pada 2016 kami perkirakan kisarannya sama dengan 2015," ujar Suwandi.
Dia melanjutkan, salah satu sektor penyumbang NPF tersebut adalah sektor pertambangan yang banyak bergantung pada perusahaan pembiayaan dalam hal pengadaan alat berat.
Jika NPF semakin tinggi, hal yang ditakutkan terjadi adalah perumahan karyawan atau PHK.
Karena itu, Suwandi menegaskan perusahaan-perusahaan pembiayaan akan terus berusaha mempertahankan nilai NPF adalah dengan terus berusaha mencari nasabah yang berkualitas.
Sementara, PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia juga optimistis keadaan ekonomi membaik pada tahun 2016 dan meyakini pertumbuhan ekonomi diprediksi bisa mencapai 5,2 persen, lebih baik dibandingkan tahun 2015 yang tercatat berada di 4,79 persen setelah perekonomian nasional pada triwulan IV-2015 tumbuh 5,04 persen (yoy).
Ini merupakan kabar baik sebab menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), aset industri asuransi per 31 Desember 2015 hanya tumbuh 10 persen, sementara pada tahun 2014 pertumbuhan mencapai 17,5 persen.
Salah satu cara yang diambil Manulife adalah memperbanyak jumlah agen asuransi demi menggenjot pertumbuhan dan adanya rencana melakukan ekspansi.
"Kami pasti akan menambah jumlah agen, mungkin sejumlah 10 persen sampai 15 persen dari jumlah yang ada saat ini, semua tergantung pada strategi kami nanti," ujar Chief Agency Officer PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia Rusli Chan.
Rusli menambahkan saat ini pihaknya memiliki sekitar 9.000 agen asuransi yang tersebar di 25 kantor pemasaran di Indonesia.
Tidak bisa dipungkiri, masih banyak warga negara Indonesia yang belum memanfaatkan perlindungan asuransi. Bahkan hal ini juga terjadi pada investor di Tanah Air.
Berdasarkan survei Manulife Investment Sentiment Index (MISI) pada 16 Oktober-8 November 2015 terhadap 511 investor yang memiliki pengeluaran rata-rata perbulan di atas Rp4 juta serta memiliki aset yang diinvestasikan senilai di atas Rp20 juta di tiga kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Surabaya dan Medan, asuransi hanya menjadi pilihan ketiga yang dipilih investor untuk melindungi keuangan.
Investor lebih memilih menyimpan dana besar di tabungan atau deposito (72 persen), investasi emas (67 persen), lalu asuransi (44 persen), selanjutnya yang melakukan investasi di bidang properti (40 persen), berutang pada saudara atau teman (sembilan persen), meminjam uang dari bank atau penyedia kredit (enam persen) dan terakhir investasi di reksa dana (dua persen).
Rupiah Semakin Stabil Hasil survei Manulife Investment Sentiment Index (MISI) itu juga menyatakan sebanyak 43 persen investor di Indonesia yakin mata uang rupiah akan stabil setidaknya sampai triwulan pertama tahun 2016.
"Mayoritas dari investor memang menganggap dalam rupiah akan mencapai titik ekuilibrium atau keseimbangan baru," kata Presiden Direktur PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Legowo Kusumonegoro.
Hasil lainnya menunjukkan 21 persen investor menyatakan pesimistis nilai rupiah akan lebih baik dan 36 persen lainnya justru optimistis lebih positif dari sebelumnya.
Penilaian investor ini merupakan salah satu dampak dari keyakinan akan membaiknya keadaan perekonomian setelah tahun 2015 yang dianggap cukup negatif bagi investor.
Berdasarkan hasil survei MISI di kuartal keempat itu, skor indeks sentimen investor turun menjadi 44, dari 54 poin di waktu yang sama tahun 2014.
"Ini terjadi karena ada penguatan dolar AS, ada kekhawatiran The Fed menaikkan suku bunga, belum lagi melemahnya pertumbuhan ekonomi dunia dan ada devaluasi Yuan di Tiongkok yang menekan mata uang negara-negara Asia termasuk rupiah," ujar Legowo.
Selain itu, data Manulife menunjukkan bahwa pada tahun 2015 IHSG menurun 12,1 persen walau pasar obligasi menguat 3,1 persen, tetapi bersifat "volatile".
Defisit neraca berjalan juga mengecil dari 6,2 miliar dolar AS (2,81persen dari PDB) pada tahun 2014 menjadi 4 miliar dolar AS pada kuartal ketiga 2015 (1,86 persen PDB).
Masa kelam tahun 2015 memang ibarat kenangan buruk bagi industri keuangan baik perbankan maupun nonbank hingga para investor.
Proyeksi akan membaiknya pertumbuhan ekonomi 2016 sejatinya akan dirasakan seiring waktu berjalan.
Penulis : Michael Teguh Adiputra Siahaan