Kenallicom, Perhelatan akbar Forum Ekonomi Dunia 2016 di Davos yang berakhir pada 23 Januari 2016 melahirkan pesan menarik, yang justru menggaungkan aksentuasi pada sisi humanisme dan bukan materialisme ekonomis.
Para pakar dalam forum yang dihadiri perwakilan lebih dari seratus negara itu sepakat untuk mengajak masyarakat dunia menjadi lebih manusiawi di tengah perkembangan terlampau cepat teknologi informasi dan telekomunikasi.
Pesan yang terurai dalam kalimat abstrak itu tentu perlu lebih dikonkretkan agar pesan itu bisa lebih dipahami dan diimplementasikan oleh sebanyak mungkin orang, terutama tentu kalangan strategis, yakni para pemimpin politik, pebisnis supermakmur, para pesohor dan pembawa kabar.
Menjadi manusiawi atau humanis mengandaikan semangat hidup yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Rasa keadilan merupakan bagian terpenting dalam hidup yang manusiawi.
Dalam kancah kehidupan global saat ini, seribu macam persoalan berserakan di muka bumi dalam berbagai wajah. Perang memperebutkan kuasa yang tak berkesudahan di Suriah, dan Irak yang mengakibatkan ratusan ribu manusia menjadi tercerabut dari kampung halaman mereka.
Ribuan anak-anak tanpa orang tua yang menjadi pengungsi dan terlunta-lunta di wilayah perbatasan negara dan sebagian tenggelam yang beberapa di antara mereka ditemukan tak bernyawa di pantai-pantai menyentak kemanusiaan setiap orang.
Seeorang menulis di akun Twitter setelah menyaksikan sebuah foto jasad bocah yang tertelungkup di sebuah pantai senyap: "Kita ini hidup di zaman apakah?" Kanselir Jerman Angela Merkel termasuk pemimpin dunia yang boleh dibilang menjalankan hidup dalam semangat humanisme karena kebijakannya menampung para pengungsi, yang oleh pemimpin negara lain ragu-ragu untuk diterima.
Kemajuan pesat teknologi juga ternyata tidak membawa dunia menjadi lebih adil dan makmur secara merata. Seorang bintang terkemuka, pesepak bola, pebisnis bisa berpendapatan milyaran rupiah per pekan sementara jutaan manusia lain di belahan dunia lain terseok-seok mendapatkan sepiring makanan yang paling sederhana. Tentu perbandingan itu adalah gambaran yang menghiperbolakan kesenjangan.
Ketidakadilan global juga dilahirkan oleh kesenjangan pengetahuan antara sumber daya manusia di negara maju dan di negara yang belum maju. Penyedotan kekayaan alam di negara belum maju oleh negara maju demikian masif.
Untuk Indonesia, potret ketimpangan ini terlihat jelas pada eksploitasi tambang tembaga dan emas di Papua, yang memperkaya para kapitalis di negara makmur sementara penduduk tempat kekayaan itu dikuras hidup dalam gelimang kekurangan. Tak salah jika dalam salah satu artikelnya beberapa tahun silam The New York Times melukiskan Papua sebagai kawasan yang bergunung emas dengan sungai-sungai berlimbah.
Kontradiksi kondisi ekonomis itu menyadarkan sejumlah orang tentang ironi kelangkaan di tengah kelimpahan. Kelangkaan ekonomi itu, dalam kondisi normal, adalah keadaan ketidakcukupan sumber daya untuk memuaskan kebutuhan paling mendasar manusia.
Kelangkaan terjadi karena jumlah kebutuhan lebih banyak dari jumlah barang dan jasa yang tersedia. Kelangkaan bukan berarti segalanya sulit diperoleh atau ditemukan. Kelangkaan juga dapat diartikan alat yang digunakan untuk memuaskan kebutuhan jumlahnya tidak seimbang dengan kebutuhan yang harus dipenuhi. Itu konsep kelangkaan yang diajarkan di ruang kelas.
Kelangkaan yang dialami oleh warga Papua adalah akibat dari diskrepansi pengetahuan dan tata kelola yang dimiliki warga setempat dan pemegang hak pengelolaan tambang.
Forum Ekonomi Dunia di Davos tampaknya masih berpihak pada para pebisnis kaya-raya yang menguasai sebagian besar kekayaan alam dunia sehingga pesannya hanya bersifat seruan filantropis.
Andaikan pesannya lebih menyentuh ke aspek pembangunan ekonomi yang berkeadilan, dengan menyerukan pembagian pendapatan yang lebih besar porsinya buat penduduk di kawasan tempat kekayaan alam itu dieksploitasi, nasib lebih baik bagi warga dunia di sekitar kawasan pertambangan akan lebih mudah terealisasikan.
Tampaknya, benar apa yang dikatakan kaum spiritualis yang mengajarkan bahwa kelimpahan itu sumbernya bukan di luar tapi di dalam. Pembangunan material yang pesat sekalipun tak akan menghasilkan kelimpahan bagi semua orang kecuali bagi sebagian kecil kelompok strategis.
Apa yang diyakini kaum spiritualis ini agaknya bisa juga digunakan untuk mengintepretasikan pesan humanisme yang disuarakan para panelis di Forum Ekonomi Dunia Davos 2016.
Pesan humanisme itu bisa juga dijadikan unsur komplementer bagi kearifan kata-kaya yang pernah diucapkan Mahatma Karamchad Mohandas Gandhi bahwa alam dapat memenuhi kebutuhan manusia tapi tidak keserakahannya. Namun, dengan semakin merosotnya kualitas lingkungan, yang dari tahun-ke tahun semakin memprihatinkan, jangan-jangan alam pun akhirnya tak mampu lagi memenuhi kebutuhan manusia.
Pemanasan global, kekacauan ritme musim telah membunuh banyak ikan di laut dan para petani menjadi semakin sulit menentukan musim tanam. Berbagai badai yang melanda dalam bentuk perubahan cuaca secara ekstrem juga melahirkan sejumlah penyakit.
Nasib manusia agaknya semakin tergantung pada kemampuan terakhir manusia yang berupa kesanggupan untuk lebih manusiawi, lebih peduli pada yang berkekurangan dan mendukung hidup yang berkeadilan. Tanpa menjadi lebih manusiawi, peradaban manusia akan terancam.
Penulis : M SUNYOTO
Kenallicom, Perhelatan akbar Forum Ekonomi Dunia 2016 di Davos yang berakhir pada 23 Januari 2016 melahirkan pesan menarik, yang justru menggaungkan aksentuasi pada sisi humanisme dan bukan materialisme ekonomis.
Para pakar dalam forum yang dihadiri perwakilan lebih dari seratus negara itu sepakat untuk mengajak masyarakat dunia menjadi lebih manusiawi di tengah perkembangan terlampau cepat teknologi informasi dan telekomunikasi.
Pesan yang terurai dalam kalimat abstrak itu tentu perlu lebih dikonkretkan agar pesan itu bisa lebih dipahami dan diimplementasikan oleh sebanyak mungkin orang, terutama tentu kalangan strategis, yakni para pemimpin politik, pebisnis supermakmur, para pesohor dan pembawa kabar.
Menjadi manusiawi atau humanis mengandaikan semangat hidup yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Rasa keadilan merupakan bagian terpenting dalam hidup yang manusiawi.
Dalam kancah kehidupan global saat ini, seribu macam persoalan berserakan di muka bumi dalam berbagai wajah. Perang memperebutkan kuasa yang tak berkesudahan di Suriah, dan Irak yang mengakibatkan ratusan ribu manusia menjadi tercerabut dari kampung halaman mereka.
Ribuan anak-anak tanpa orang tua yang menjadi pengungsi dan terlunta-lunta di wilayah perbatasan negara dan sebagian tenggelam yang beberapa di antara mereka ditemukan tak bernyawa di pantai-pantai menyentak kemanusiaan setiap orang.
Seeorang menulis di akun Twitter setelah menyaksikan sebuah foto jasad bocah yang tertelungkup di sebuah pantai senyap: "Kita ini hidup di zaman apakah?" Kanselir Jerman Angela Merkel termasuk pemimpin dunia yang boleh dibilang menjalankan hidup dalam semangat humanisme karena kebijakannya menampung para pengungsi, yang oleh pemimpin negara lain ragu-ragu untuk diterima.
Kemajuan pesat teknologi juga ternyata tidak membawa dunia menjadi lebih adil dan makmur secara merata. Seorang bintang terkemuka, pesepak bola, pebisnis bisa berpendapatan milyaran rupiah per pekan sementara jutaan manusia lain di belahan dunia lain terseok-seok mendapatkan sepiring makanan yang paling sederhana. Tentu perbandingan itu adalah gambaran yang menghiperbolakan kesenjangan.
Ketidakadilan global juga dilahirkan oleh kesenjangan pengetahuan antara sumber daya manusia di negara maju dan di negara yang belum maju. Penyedotan kekayaan alam di negara belum maju oleh negara maju demikian masif.
Untuk Indonesia, potret ketimpangan ini terlihat jelas pada eksploitasi tambang tembaga dan emas di Papua, yang memperkaya para kapitalis di negara makmur sementara penduduk tempat kekayaan itu dikuras hidup dalam gelimang kekurangan. Tak salah jika dalam salah satu artikelnya beberapa tahun silam The New York Times melukiskan Papua sebagai kawasan yang bergunung emas dengan sungai-sungai berlimbah.
Kontradiksi kondisi ekonomis itu menyadarkan sejumlah orang tentang ironi kelangkaan di tengah kelimpahan. Kelangkaan ekonomi itu, dalam kondisi normal, adalah keadaan ketidakcukupan sumber daya untuk memuaskan kebutuhan paling mendasar manusia.
Kelangkaan terjadi karena jumlah kebutuhan lebih banyak dari jumlah barang dan jasa yang tersedia. Kelangkaan bukan berarti segalanya sulit diperoleh atau ditemukan. Kelangkaan juga dapat diartikan alat yang digunakan untuk memuaskan kebutuhan jumlahnya tidak seimbang dengan kebutuhan yang harus dipenuhi. Itu konsep kelangkaan yang diajarkan di ruang kelas.
Kelangkaan yang dialami oleh warga Papua adalah akibat dari diskrepansi pengetahuan dan tata kelola yang dimiliki warga setempat dan pemegang hak pengelolaan tambang.
Forum Ekonomi Dunia di Davos tampaknya masih berpihak pada para pebisnis kaya-raya yang menguasai sebagian besar kekayaan alam dunia sehingga pesannya hanya bersifat seruan filantropis.
Andaikan pesannya lebih menyentuh ke aspek pembangunan ekonomi yang berkeadilan, dengan menyerukan pembagian pendapatan yang lebih besar porsinya buat penduduk di kawasan tempat kekayaan alam itu dieksploitasi, nasib lebih baik bagi warga dunia di sekitar kawasan pertambangan akan lebih mudah terealisasikan.
Tampaknya, benar apa yang dikatakan kaum spiritualis yang mengajarkan bahwa kelimpahan itu sumbernya bukan di luar tapi di dalam. Pembangunan material yang pesat sekalipun tak akan menghasilkan kelimpahan bagi semua orang kecuali bagi sebagian kecil kelompok strategis.
Apa yang diyakini kaum spiritualis ini agaknya bisa juga digunakan untuk mengintepretasikan pesan humanisme yang disuarakan para panelis di Forum Ekonomi Dunia Davos 2016.
Pesan humanisme itu bisa juga dijadikan unsur komplementer bagi kearifan kata-kaya yang pernah diucapkan Mahatma Karamchad Mohandas Gandhi bahwa alam dapat memenuhi kebutuhan manusia tapi tidak keserakahannya. Namun, dengan semakin merosotnya kualitas lingkungan, yang dari tahun-ke tahun semakin memprihatinkan, jangan-jangan alam pun akhirnya tak mampu lagi memenuhi kebutuhan manusia.
Pemanasan global, kekacauan ritme musim telah membunuh banyak ikan di laut dan para petani menjadi semakin sulit menentukan musim tanam. Berbagai badai yang melanda dalam bentuk perubahan cuaca secara ekstrem juga melahirkan sejumlah penyakit.
Nasib manusia agaknya semakin tergantung pada kemampuan terakhir manusia yang berupa kesanggupan untuk lebih manusiawi, lebih peduli pada yang berkekurangan dan mendukung hidup yang berkeadilan. Tanpa menjadi lebih manusiawi, peradaban manusia akan terancam.
Penulis : M SUNYOTO